Efektivitas Penegakan Kewenangan Mahkamah Syariyah
Oleh : Dangas Siregar, S.H.I., M.H.
Dalam konteks teori Friedman “three elements law system” menjadi amat relevan. Ia menyatakan bahwa efektif atau tidaknya penegakan hukum salah satunya ditentukan oleh kuat tidaknya struktur hukum (legal structure), utamanya pengadilan. Menurutnya, struktur adalah bagian dari sistem hukum yang bergerak di dalam suatu mekanisme.[1] Struktur bagaikan foto diam yang membekukan gerak.[2] Dalam artian, bahwa peradilan agama sebagai/Mahkamah Syariyah bagian utuh dari struktur hukum tentu saja pada gilirannya akan dapat turut memberikan kontribusi pengaruh terhadap kuat tidaknya struktur pelaksana hukum di Indonesia.
Dengan demikian, jelaslah bahwa pasca era reformasi, melalui UU keistimewaaan Aceh, legitimasi secara struktural Mahkamah Syariyah dalam status dan kedudukannya sebagai bagian utuh pelaksana kekuasaan kehakiman dalam sistem peradilan nasional telah semakin kokoh. Sehingga tidak diperlukan lagi perdebatan mengenai kehadirannya dalam sistem kekuasaan kehakiman Indonesia. Peradilan Syariat Islam adalah pranata konstitusional, dan menjalankan peradilan agama dengan sendirinya menjadi tanggungjawab dan kewajiban konstitusional. Lantaran itu, penghapusannya dalam sistem peradilan nasional hanya mungkin terjadi lewat perubahan konstitusi negara; UUD 1945, yang tentu saja merupakan sesuatu yang sulit dibayangkan akan terjadi.
Perubahan signifikan yang terjadi atas eksistensi peradilan Syariat Islam Di Aceh dalam status dan kedudukannya sebagai bagian utuh pelaksana kekuasaan kehakiman dalam sistem peradilan nasional di era reformasi ini telah memiliki legitimasi konstitusional dan legal formal. Dalam artian, bahwa eksistensi peradilan agama baik dari segi status maupun dari segi kedudukannya telah menjadi setara dengan badan-badan peradilan lainnya. Sehingga, independensi dan kemandirian institusionalnya akan semakin dapat dioptimalkan, dan termasuk kepercayaan masyarakat pencari keadilan pun akan bisa lebih kuat. Karena memang, status dan kedudukan peradilan agama/Mahkamah Syariyah sebagai institusi penegak hukum harus kuat, yang dengan demikian akan lebih dapat memberikan kepastian hukum kepada para pencari keadilan. Karenanya, muatan utama dari reformasi peradilan agama yang menjadi kata kunci adalah terkait status dan kedudukannya sebagai bagian utuh dalam totalitas struktur dan sistem kekuasaan kehakiman.
Apa yang diatur pada pasal 25 Undang-undang Nomor 18 tahun 2001 joncto pasal 49 Qanun Nomor 10 tahun 2002, adalah merupakan ketentuan khusus yang mengatur tentang kewenangan Peradilan untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara, bagi orang Islam yang berada diwilayah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Ketentuan tersebut mengenyampingkan ketentuan pasal 50 Undang-undang Nomor 2 tahun 1986 tentqng Peradilan Umum yang menentukan “ Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata pada tingkat pertama”. Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 44 tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 18 tahun 2001 maka kewenangan memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata (sepanjang telah diatur dalam Qanun) bagi orang Islam menjadi kewenangan Mahkamah Syar’iyah.
Bahwa Undang-undang Nomor 44 tahun 1999, Undang-undang Nomor 18 tahun 2001 dan Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 adalah merupakan produk nasional dan menempati posisi sebagai Undang-undang Khusus. Pemberlakuan Undang-undang Khusus mengenyampingkan ketentuan Undang-undang lainnya yang mengatur hal yang sama. Hal ini disamping telah menjadi teori ilmu hukum, juga dengan tegas dikatakan dalam pasal 29 Undang-undang Nomor 18 tahun 2001 bahwa “semua peraturan perundang-undangan yang ada sepanjang tidak diatur dengan Undang-undang ini, dinyatakan tetap berlaku di Propinsi Aceh”. Penafsiran a Contrario atau mafhum mukhalafah mengatakan, semua peraturan perundang-undangan lain menjadi tidak berlaku, dalam hal telah terdapat pengaturannya dalam Undang-undang Nomor 18 tahun 2001. pengertian ketentuan yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang diperintahkan atau diberi wewenang oleh Undang-undang tersebut, seperti Qanun Nomor 10 tahun 2002.
Untuk Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam di masa depan Mahkamah Syar’iyah sebagai peradilan Islam mempunyai peran yang sangat strategis dalam upaya pelaksanaan Syari’at Islam secara kaffah. Untuk itu diperlukan upaya yang sungguh-sungguh atau Jihad dari segala komponen masyarakat di Nanggroe ini, terutama upaya yang terus menerus meningkatkan SDM, profesionalitas, integritas dan kualitas ketaqwaan dari insan-insan yang terlibat langsung maupun tidak terlibat langsung didalamnya.