img_head
ARTIKEL

Realita Politik Hukum Mahkamah Syariyah/Pengadilan Agama Dalam Mengadili

Peb07

Konten : artikel hukum
Telah dibaca : 733 Kali


Oleh : Dangas Siregar, S.H.I., M.H.

 

Kewenangan mengadili Mahkamah Syariyah/ peradilan agama telah mengalami dinamika yang cukup pelik serta mengarah pada pasang surut dan berbagai macam hambatan yang telah dilaluinya.[1] Meskipun tidak sampai dihapuskan, namun lingkup yurisdiksi Mahkamah Syariyah/peradilan agama kerap dibatasi pada perkara tertentu. Kenyataan ini sesungguhnya tidak terlepas dari kehendak politik (political will) para penguasa pada masanya yang tercermin dalam kebijakan-kebijakan yang ditempuh oleh penguasa bersangkutan.[2] Tak dapat dipungkiri bahwa faktor dinamika politik hukum dan kehendak politik (political will) penguasa dari masa ke masa telah menggoreskan dan memperngaruhi hambatan peradilan agama/Mahkamah Syariyah dalam mengadili berbagai kewenangannya sebagai pengadilan yang beraazaskan Islam.

Sungguhpun begitu, pada akhirnya kebijakan regulasi dan politik hukum negara dapat menempatkan posisi Mahkamah Syariyah/peradilan agama dalam sistem peradilan nasional secara lebih proporsional seperti telah dibahas dalam bab sebelumnya. Fakta fluktuasi dan instabilitas keberadaan kewenangan Mahkamah Syariyah/peradilan agama dalam dinamika politik hukum kadangkala juga positif. Konfigurasi dialektika peradilan agama antara peluang dan tantangan yang niscaya saling bersitegang itu, utamanya muncul dalam bentuk pro dan kontra atas pelbagai kebijakan regulasi. Salah satu di antaranya terkait dengan kewenangannya mengadili dalam sistem peradilan nasional.

Kewenangan Mahkamah Syariyah/peradilan agama pada dasarnya sangat terpaut erat dengan pelaksanaan hukum Islam sebagai hukum yang hidup di masyarakat (living law). Sekalipun demikian, sejak munculnya teori receptie produk Christian Snouck Hurgronje,[3] kompetensi peradilan agama/Mahkamah Syariyah pernah dibatasi, tidak lagi menangani masalah waris karena dianggap belum menjadi hukum adat, Berdasarkan pengaruh teori ini, kompetensi peradilan agama hanya diperkenankan untuk menangani masalah perceraian, nafkah, talaq, dan rujuk.[4]

Kewenangan Mahkamah Syariyah/peradilan agama di Indonesia, sesungguhnya sangat terkait erat dengan persoalan kehidupan umat Islam. Namun, karena Indonesia bukan negara Islam, maka kompetensi peradilan agama tidak menyangkut seluruh persoalan umat Islam, melainkan hanya terkait dengan persoalan hukum keluarga (ahwâl al-syakhsiyyah) ditambah beberapa persoalan muamalah. Meskipun saat ini telah secara faktual keberadaan kewenangan Mahkamah Syariyah dan Peradilan Agama telah berbeda dengan kekhususannya Mahkamah Syariyah di Provinsi Aceh telah dapat menerapkan segala tindak tanduk yang berkaitan dengan hukum Islam yang telah hidup ditengah masyarakat Indonesia sebagaimana telah diterangkan diatas, sedangkan Peradilan Agama masih tetap berkutat didalam menangani perkara tertentu sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya. Kenyataan tersebut tidak bisa dipisahkan dari persoalan politik penguasa dari masa ke masa. Karena latar belakangn historis itu, peradilan agama kerap memiliki konotasi sebagai peradilan nikah, talak, dan rujuk saja.

Pada perkembangannya, UU tentang Peradilan Agama No. 7 Tahun 1989 diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006. Sejak lahirnya UU No. 3 Tahun 2006 bahkan sekarang telah diubah lagi dengan UU No. 50 Tahun 2009 mampu membawa perubahan besar bagi kewenangan mengadili bagi Mahkamah/ Syariyah/peradilan agama. Dalam UU No. 3 Tahun 2006 tersebut, kompetensi peradilan agama diperluas dengan memasukkan, antara lain masalah peradilan Syariat Islam Di Aceh, yang diberikan kewenangan kepada Mqahakamah Syariay secara luas mengenai perdata dan pidana/jinayat ini menegaskan secara eksplisit bahwa tidak hanya masalah perdata saja namun telah menjadi kewenangan absolut Mahkamah Syariyah/peradilan agama. Dalam skala yang lebih luas, perluasan kewenangan Mahkamah Syariyah/peradilan agama sebagaimana diatur dalam undang-undang tersebut merupakan respon terhadap perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Muslim, serta Tarik ulur antara sejarah yang Panjang atas pergolakan di Aceh, dengan politik mengakomodir oleh pemerintah terhdap tunututan rkayat Aceh Dalam penegakan Hukum Syariat Islam, upaya tersebut menurut penulis adalah salah satu tujuan pemerintah menjinakkan pergolakan yang ada di bumi serambi Mekkah.

 

 

 


[1] Lihat C. Van Vollenhoven, Orientasi dalam Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Djambatan-Inkultra Foundation Inc., 1981), h. 51. 

[2] Soetandyo Wignjosoebroto, ”Dari Hukum Kononial ke Hukum Nasional: Suatu Telaah Mengenai Transplantasi Hukum ke Negara-negara Tengah Berkembang Khususnya Indonesia,” Pidato Pengukuhan Guru Besar Sosiologi Hukum Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Airlangga, Surabaya, 4 Maret 1989, h. 16.

[3] Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia: Kesinambungan dan Perubahan, (terj.) Nirwoo dan AE. Priyono (Jakarta: LP3ES, 1990), h. 424-438.

[4] Dinyatakan dalam Pasal 2 Staatsblad 1882 No.152 sebagaimana telah diubah dan disempurnakan oleh Staatsblad 1937 No.116 dan No.610.