img_head
ARTIKEL

Filosofi dan Konsep Pengawasan di Pengadilan

Jul11

Konten : artikel hukum
Telah dibaca : 304 Kali


Oleh Zikri, S.H.I., M.H., CPT [1]

 

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap organisasi memiliki tujuan dan tujuan suatu organisasi hanya dapat dicapai jika pengelolaannya dilakukan dengan baik melalui implementasi sistem dan tata kelola yang baik pula. Sistem dan tata kelola setiap organisasi secara umum selalu mengacu pada 4 (empat) kegiatan utama, yaitu perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pelaksanaan (actuating), dan pengendalian (controlling).

Perencanaan adalah kegiatan yang berkaitan dengan menyusun dan menyistematiskan langkah-langkah, strategi, dan tujuan yang ingin dicapai. Pengorganisasian adalah kegiatan yang berkaitan dengan pembagian beban kerja, alokasi waktu pekerjaan, penataan sistem kerja antar unit, dan koordinasi. Adapun, pelaksanaan adalah tindakan mengimplementasikan hal-hal yang telah direncanakan dengan memanfaatkan sumber daya yang ada agar tujuan yang ditetapkan dapat tercapai dengan baik. Ketiga pekerjaan tersebut harus dikendalikan dan dievaluasi melalui pembinaan dan pengawasan.

Sebagai sebuah organisasi, lembaga peradilan juga telah merumuskan mekanisme pengawasan guna memastikan tujuan lembaga peradilan tercapai. Kegiatan pengawasan itu dimaksudkan untuk mengendalikan proses bisnis di Lembaga peradilan berdasar prinsip due process of law (proses hukum yang sejalan dengan prinsip-prinsip negara hukum). Proses bisnis di pengadilan yang harus diawasi mencakup segala hal, baik yang terkait dengan core business pengadilan (menerima, memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara) maupun supporting unit (administrasi, manajemen organisasi, sumber daya, dan pengelolaan anggaran).[2]

Kegiatan pengawasan di Lembaga peradilan merupakan salah satu elemen penting dan sangat krusial. Namun dalam tataran praktikal sering kali terjadi bias, di mana pengawasan sering kali dipersepsikan negative, yaitu hanya untuk menemukan berbagai kesalahan, sehingga pengawasan menjadi sebuah momok dan sering kali juga terjadi berbagai resistensi dalam pelaksanaannya. Ketidakpahaman terhadap filosofi pengawasan akan membentuk gap di antara pengawas dan yang diawasi. Pengawasan akan selalu dianggap sebagai beban, sehingga pengawasan sebagai instrument pengendali yang memastikan seluruh proses bisnis pengadilan menjadi tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Sebagai salah satu elemen penting dalam pengelolaan pengadilan, pengawasan seharusnya menjadi bagian tidak terpisahkan dan menjadi unit pengendali pelaksanaan tugas dan fungsi pengelolaan pengadilan, sehingga tujuan organisasi dapat tercapai dengan adanya pembinaan, pengendalian internal dan pengawasan yang efektif.

B. Tujuan

Pembahasan ini dimaksudkan untuk memberi pemahaman yang komprehensif dan sistematis kepada para pembaca dalam memahami kegiatan pengawasan di Pengadilan, baik filosofi, konsep dan implementasinya di lapangan. Dengan pendekatan teori-praktik, diharapkan tidak hanya menguasai teknik-teknik pengawasan, tetapi juga memahami esensi dan urgensi pengawasan sebagai fundamen bagi terwujudnya peradilan yang agung.

Untuk mencapai kesepahaman tersebut, maka makalah ini akan membahas filosofi pengawasan dan konsep pengawasan. Harapannya, pengawas dan yang diawasi akan memiliki persepsi yang sama tentang urgensi pengawasan dan di dalam prakteknya akan tumbuh dialektika yang positif antara pengawas dan yang diawasi yang berkedudukan sebagai patner kerja dan pada akhirnya, dinamika pencapaian tujuan organisasi dapat berjalan lancar dan terwujud.

BAB II PEMBAHASAN

A. Filosofi Pengawasan

  1. Urgensi Pengawasan

Pengawasan adalah conditio sine qua non bagi lembaga peradilan dalam mewujudkan peradilan yang agung. Tanpa pengawasan maka upaya mewujudkan cita-cita peradilan yang agung tidak akan tercapai.

Di antara tujuan utama pengawasan adalah (1) mencegah terjadinya penyimpangan pencapaian tujuan yang telah direncanakan agar proses kinerja sesuai prosedur yang telah ditetapkan, (2) mencegah dan menghilangkan hambatan serta kesulitan yang akan datang, sedang atau mungkin terjadi dalam pelaksanaan kegiatan, dan (3) mencegah penyimpangan penggunaan sumber daya dan mencegah penyalahgunaan otoritas dan kedudukan.[3]

Dengan mencermati tujuan pengawasan tersebut, maka dapat disimpukan bahwa pengawasan adalah instrumen yang dimaksudkan untuk memantau dan mengendalikan proses bisnis di pengadilan dilaksanakan sesuai koridor yang ada. Tanpa pengawasan menyeluruh dan berkesinambungan, besar kemungkinan terjadi hambatan, kesalahan dan/atau penyalahgunaan keadaan.

Dalam pelaksanaannya, dibutuhkan kesamaaan pemahaman untuk membangun mindset antara pengawas dan yang diawasi. Pemahaman bersama yang utuh terhadap filosofi pengawasan akan membentuk persepsi yang positif terhadap pengawasan dan membangun dinamika yang positif dalam pelaksanaan pengawasan.

Kesepahaman tentang urgensi pengawasan di antara pengawas dan yang diawasi akan menghilangkan persepsi pengawasan yang selama ini dianggap sebagai momok, Pengawas tidak lagi dianggap sebagai pencari kesalahan, namun sebagai partner dalam hal pencapaian tujuan organisasi.

Di samping itu, juga akan membangun persepsi bahwa pihak yang diawasi bukanlah sebagai objek, melainkan sebagai subjek pengawasan yang memiliki kedudukan setara dan bersifat consulting. Dengan demikian, yang terjadi dalam pengawasan adalah ada dialektika dan terjadi dinamika yang positif antara pengawas dan yang diawasi untuk secara bersama-sama mencapai tujuan organisasi.

2. Sistem Nilai Pengawasan

Sistem nilai pengawasan di Pengadilan idealnya mengacu pada konsep skeptisisme, yaitu pandangan yang menolak klaim kebenaran atau pernyataan tertentu sebelum melakukan pemeriksaan secara lengkap dan memvalidasi bukti-bukti yang ada. Skeptisisme dalam pengawasan diimplementasikan dengan membentuk asumsi pengawasan bahwa: “seseorang dianggap tidak melakukan kesalahan prosedural dan/atau pelanggaran etika profesi hingga dapat dibuktikan sebaliknya”.

Dalam penerapannya, sistem nilai ini sangat bergantung pada sikap mental dan persepsi awal yang dibangun oleh pengawasan. Jika yang dikedepankan adalah praduga bersalah, besar kemungkinan pengawas akan berupaya mencari kesalahan yang diawasi atau yang diperiksa, meski pada dasarnya kesalahan tersebut tidak prinsipil.

Sebaliknya, jika pengawasan mengedepankan proses pemeriksaan yang berimbang dengan meneliti seluruh aspek dari pekerjaan yang diawasi atau keadaan-keadaan dari terlapor (terperiksa), mendengar penjelasan dan/atau pembelaan dari yang diawasi, serta meneliti ada tidaknya keadaan memaksa, maka berdasarkan bukti-bukti yang ada dari semua proses wawancara,penelusuran dokumen dan proses lainnya, akan menghasilkan kesimpulan dan rekomendasi oleh pengawas dalam bentuk Laporan Hasil Pengawasan.

3. Perspektif Pengawasan

Hal mendasar yang harus dipahami dalam pengawasan adalah perspektif yang sifatnya membangun. Pengawasan tidak boleh dilihat sebagai “upaya mencari kesalahan”, tetapi “upaya bersama untuk mengevaluasi pelaksanaan tugas pokok dan fungsi agar sesuai koridor yang ditentukan”.

Pengawasan adalah wadah untuk duduk bersama mengevaluasi kembali pekerjaan-pekerjaan yang sudah dilakukan, berupaya memperbaiki kesalahan yang mungkin timbul di dalamnya dan upaya mencari solusi terbaik menghadapi kemungkinan hambatan yang akan terjadi. Yang diharapkan kemudian adalah pengawasan menjadi media yang efektif untuk perbaikan kinerja, bukan untuk menimbulkan ketakutan dan kekhawatiran melakukan kesalahan pada aparat yang diawasi, sehingga tidak berani mengambil kebijakan yang bertujuan untuk kebaikan organisasi dan/atau berinovasi.

Hal tersebut di atas juga telah didukung dengan bertambahnya peran pengawas internal sebagai konsultan dan catalist. Peran konsultan pada umumnya bersifat pemberian saran, atau layanan lain dengan sifat dan ruang lingkup berdasar kesepakatan antara pengawas dengan yang disepakati dengan manajemen untuk kebaikan instansi. Layanan konsultasi ini bertujuan untuk memberi nilai tambah dan meningkatkan tata kelola, manajemen risiko dan pengendalian organisasi, yang bisa dilaksanakan melalui kegiatan berupa asistensi, sosialisasi dan konsultansi.

4. Kedudukan Pengawas dan yang Diawasi

Salah satu penyebab masih adanya anggapan bahwa pengawasan sebagai momok yang menakutkan adalah kedudukan antara pengawas dan yang diawasi tidak setara. Pengawas cenderung superior terhadap yang diawasi, sehingga ada ketakutan bagi yang diawasi untuk berpendapat atau mengajukan argumentasi atas temuan-temuan awal yang disampaikan pengawas.

Asumsi terhadap pengawas yang cenderung secara umum dianggap lebih “superior” adalah lebih disebabkan bahwa “pihak yang diawasi” merasa didudukkan sebagai “objek pengawasan”. Walaupun secara normative dalam Buku IV tentang Tata Laksana Pengawasan Peradilan diatur bahwa aparatur peradilan merupakan sasaran pengawasan,[4] hal tersebut tidak kemudian menjadikan aparatur yang diawasi diposisikan sebagai “objek pengawasan”.

Bahwa benar pihak yang diawasi tersebut dinilai perilaku dan/atau kinerja, juga hasil pekerjaannya, namun mereka tetap memiliki hak untuk menjawab dan menjelaskan proses bisnis dari pekerjaannya. Jika kemudian dari hasil pengawasan ditemukan adanya kesalahan prosedur dan/atau pelanggaran etika profesi, kesimpulan tersebut dibuat pengawas setelah mendengar secara lengkap penjelasan dari yang diawasi serta verifikasi alat-alat bukti yang ada.

Prinsip presumption of innocence (praduga tidak bersalah) harus digunakan, bahwa pengawasan tidak boleh membentuk praduga bersalah kepada yang diawasi atau diperiksa sebelum terdapat cukup bukti adanya kesalahan yang disangkakan kepada yang diperiksa atau diawasi.

Jika kondisi atau keadaan ideal ini yang terjadi, eksistensi pengawasan internal di pengadilan tidak lagi dianggap sebagai momok. Sebaliknya, pengawasan dilihat sebagai instrumen korektif dalam mengevaluasi proses bisnis dan kinerja unit terkait. Bahkan, dalam cakupan yang lebih luas, pengawasan dapat dilihat sebagai ajang untuk brainstorming (curah pendapat) antara pengawas dan yang diawasi untuk memperbaiki kinerja dan mendorong tercapainya tujuan lembaga.

Ketika mindset ini telah terbentuk, maka seluruh aparat peradilan tidak lagi merasa “alergi” terhadap pengawasan internal yang dilakukan oleh Pengawas, karena sesungguhnya Pengawas adalah mitra kerja sebagai “cermin” hasil kerja yang dilakukan selama ini, sehingga maksud dan tujuan pengawasan demi tercapainya tujuan organisasi secara keseluruhan dapat terwujud.

B. Dasar Hukum

  1. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman;
  2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009;
  3. Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009;
  4. Perma Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Pengawasan dan Pembinaan Atasan Langsung Di Lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di Bawahnya;
  5. Keputusan Mahkamah Agung RI Nomor KMA/080/SK/VIII/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan di Lingkungan Lembaga Peradilan;
  6. SK Kepala Badan Pengawasan Mahkamah Agung RI Nomor 64/BP/SK/XII/2021 tentang  Penggunaan Aplikasi Watitama.

C. Konsep Pengawasan

  1. Konsep Pengawasan

Buku IV tentang Tata Laksana Pengawasan Peradilan yang diberlakukan berdasar Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor 145/KMA/SK/VIII/2007 mengatur tentang konsep dan implementasi pengawasan di pengadilan.

Beberapa hal yang perlu diketahui dan dipahami, pada pokoknya sebagai berikut:

  1. Maksud Pengawasan
  1. Memperoleh informasi apakah penyelenggaraan teknis peradilan, pengelolaan administrasi peradilan, dan pelaksanaan tugas umum peradilan telah dilaksanakan sesuai dengan rencana dan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
  2. Memperoleh umpan balik bagi kebijaksanaan, perencanaan, dan pelaksanaan tugas-tugas peradilan;
  3. Mencegah terjadinya penyimpangan, mal administrasi, dan ketidakefisinan penyelenggaraan peradilan; dan
  4. Menilai kinerja

 

b. Tujuan Pengawasan

Pengawasan dilaksanakan untuk dapat mengetahui kenyataan yang ada sebagai masukan dan bahan pertimbangan bagi pimpinan Mahkamah Agung dan/atau pimpinan pengadilan, dalam rangka menentukan kebijakan dan tindakan yang diperlukan menyangkut pelaksanaan tugas peradilan, tingkah laku aparat pengadilan, dan kinerja pelayanan publik pengadilan.

c. Fungsi Pengawasan

  1. Menjaga agar pelaksanaan tugas lembaga peradilan sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
  2. Mengendalikan administrasi peradilan agar dikelola secara tertib sebagaimana mestinya dan aparat peradilan melaksanakan tugasdengan sebaik-baiknya;
  3. Menjamin perwujudan pelayanan publik yang baik bagi para pencari keadilan yang meliputi: a) kualitas putusan; b) waktu penyelesaian perkara yang cepat; c) proses yang sederhana; dan d) biaya berperkara yang murah.

d. Ruang Lingkup dan Sasaran Pengawasan

Ruang lingkup pengawasan meliputi penyelenggaraan, pelaksanaan, dan pengelolaan organisasi, administrasi, dan finansial peradilan.

e. Sasaran pengawasan:

1. Lembaga peradilan yang meliputi:

  • Mahkamah Agung;
  • Pengadilan tingkat banding; dan
  • Pengadilan tingkat pertama

2. Aparat peradilan di lingkungan Mahkamah Agung, pengadilan tingkat banding, dan pengadilan tingkat pertama

2. Bentuk, Jenis dan Prinsip Pengawasan

  1. Bentuk Pengawasan
    1. Pengawasan langsung, yaitu dengan cara melakukan pemeriksaan;
    2. Pengawasan tidak langsung, yaitu melakukan pengujian atau penilaian atas laporan atau isi dokumen.
  2. Jenis Pengawasan

1. Berdasarkan sifat pengawasan

  • Pengawasan preventif, yaitu pengawasan untuk mencegah terjadinya penyimpangan atau pelanggaran.
  • Pengawasan represif, yaitu pengawasan yang dilakukan setelah terjadi penyimpangan/kesalahan dalam pelaksanaan kegiatan.
  • pengawasan detektif, adalah pengawasan untuk mendeteksi terjadinya penyelewengan/ penyimpangan/pelanggaran.

2. Berdasarkan cakupan pengawasan

  • Pengawasan intern (dahulu disebut pengawasan fungsional, sesuai PP Nomor 60 Tahun 2008, diubah menjadi pengawasan intern oleh aparat pengawas intern pemerintah/APIP), adalah pengawasan yang dilakukan aparat pengawas intern pemerintah (APIP) dalam dari instansi yang sama;
  • Pengawasan ekstern, adalah pengawasan yang dilakukan oleh pihak/lembaga dari luar instansi, misalnya; BPKP, lembaga legislatif, dan masyarakat umum.

3. Berdasarkan metode yang digunakan

  • Pengawasan melekat adalah pengawasan yang secara tugas dan fungsi melekat pada setiap pimpinan dalam suatu unit organisasi. Oleh karena itu, secara manajemen, tugas pengawasan ini besifat ex-officio dan inherent pada setiap pimpinan untuk mengawasi dan mengendalikan keseluruhan proses kerja yang menjadi bagian dari wewenangnya.
  • Pengawasan fungsional adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat/unit organisasi yang secara fungsi dan tugasnya untuk melakukan pengawasan dalam lingkungan instansinya. Dalam lingkup pemerintahan di Indonesia, pengawasan fungsional ini dapat diperankan oleh 2 (dua) jenis unit/instansi. Dalam posisi internal pemerintahan sebagai organisasi eksekutif, maka peran ini dilakukan oleh Badan Pemeriksan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), sedangkan dalam lingkup yang lebih kecil yaitu Kementerian dan Lembaga, maka peran ini dilakukan oleh unit Inspektorat masing-masing (Inspektorat Jenderal/Inpektorat Utama/ Inspektorat). Dalam istilah saat ini, unit pengawasan intern ini disebut juga Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP). Badan Pengawasan Mahkamah Agung merupakan APIP dari Mahkamah Agung RI.

c. Prinsip Pengawasan

  1. Independensi, dalam pengertian bahwa pengawasan dilakukan semata-mata untuk kepentingan lembaga peradilan tanpa ditumpangi oleh kepentingan-kepentingan lainnya;
  2. Objektivitas, dalam pengertian bahwa pengawasan dilakukan dengan menggunakan kriteria yang telah ditentukan sebelumnya, seperti hukum acara, peraturan perundang-undangan yang terkait, petunjuk-petunjuk Mahkamah Agung, kode etik dan pedoman perilaku Hakim;
  3. Kompetensi, dalam pengertian bahwa pengawasan dilakukan oleh aparat atau personil yang ditunjuk untuk itu dengan wewenang, pertanggungjawaban, dan uraian tugas yang jelas;
  4. Formalistik, dalam pengertian bahwa pengawasan dilakukan berdasarkan aturan dan mekanisme yang telah ditentukan;
  5. Koordinasi, dalam pengertian bahwa pengawasan dilakukan dengan sepengetahuan pihak-pihak yang terkait untuk mencegah terjadinya overlapping;
  6. Integrasi dan sinkronisasi, dalam pengertian bahwa pengawasan dilakukan dengan melibatkan pihak-pihak yang terkait untuk menghindari terjadinya tumpang tindih dalam melakukan pengawasan;

Efektif, efisien, dan ekonomis, dalam pengertian bahwa pengawasan harus dilakukan dalam waktu yang cepat, biaya yang ringan, dan hasil yang bermanfaat secara maksimal.

3. Pembinaan dan Pengawasan

Pengawasan yang ideal adalah pengawasan yang didahului atau dilaksanakan bersama dengan kegiatan pembinaan. Konsep ini akan berjalan dengan baik jika ada pemahaman yang utuh mengenai urgensi pengawasan, perspektif pengawasan, kesetaraan kedudukan pengawas dan yang diawasi, serta sistem nilai pengawasan. Bagaimanapun, pengawasan yang dilakukan secara rutin tidak akan membuahkan hasil maksimal jika tidak disertai dengan pembinaan yang memadai. Itulah mengapa dikenal istilah pendampingan di tempat kerja atau Diklat di Tempat Kerja (DdTK), sebagai wadah bagi pimpinan, pengawas, dan aparatur peradilan membangun komunikasi efektif dan kesepahaman mengenai sistem kerja yang dikehendaki bersama.  Pengawas internal yang juga merupakan bagian dari instansi, memberikan saran untuk perbaikan dan ikut berpartisipasi secara aktif membantu manajemen melakukan berbagai tindakan perbaikan, sehingga lebih berperan sebagai mitra bagi pihak manajemen. yang dikehendaki bersama.

D. Praktik Pengawasan di Pengadilan

Praktik Pengawasan dilaksanakan secara rutin/reguler di pengadilan oleh Hakim Pengawas Bidang dan/atau unsur pengawas lainnya dengan melakukan pemeriksaan secara komprehensif terhadap seluruh aspek penyelenggaraan peradilan yang meliputi:

  1. Evaluasi atas penyelenggaraan manajemen peradilan, kepemimpinan, kinerja lembaga peradilan, dan kualitas pelayanan publik.
  2. Pelaksanaan tugas pokok di lingkungan kepaniteraan yang mencakup: administrasi persidangan, dan administrasi perkara;
  3. Pelaksanaan tugas pokok di lingkungan kesekretariatan yang mencakup: administrasi kepegawaian, keuangan (current audit), inventaris, dan administrasi umum lainnya;

Dalam pelaksaanaanya dijumpai beberapa kendala dan permasalahan, khususnya mengenai mindset dalam memahami pengawasan, baik dari perpsektif pengawas maupun yang diawasi, sebagai berikut:

1. Pelaksanaan pengawasan sering mengalami kendala karena adanya mindset mencari-cari kesalahan atau pelanggaran terkait dengan tugas pokok dan fungsi hakim dan aparatur pengadilan.

Solusi :

Pimpinan pengadilan membangun semangat bersama sebagai filosofi pengawasan bahwa pengawasan dilaksanakan sebagai proses pembinaan, bukan untuk mencari-cari kesalahan tetapi untuk menjaga seluruh core bisnis pengadilan berjalan sesuai aturan.

Obrik (obyek pemeriksaan) pengawasan harus ditempatkan sebagai subjek pengawasan (bukan sebagai objek), karena objek pengawasan sebenarnya adalah dokumen. Pengawasan harus berorientasi kepada pembinaan.

2. “Surat kaleng” atau pengaduan yang tidak berdasar yang harus ditindaklanjuti akan membuat hakim atau aparatur pengadilan menjadi kehilangan semangat dan terjadi penurunan kinerja.

Solusi :

Pihak terkait Melakukan klarifikasi terhadap status “surat kaleng” dan memulihkan nama baik terlapor apabila tidak terbukti.

3. Komunikasi pengawasan dilakukan dengan bahasa verbal dan nonverbal yang membuat suasana pengawasan tegang dan menyebabkan hasil pengawasan tidak optimal.

Solusi :

Pengawas dalam melaksanakan pengawasan dapat berkomunikasi dengan bahasa verbal dan nonverbal yang bersahabat dan terbuka agar tercipta suasana santai dan proses pengawasan menjadi mengalir sehingga tujuan pengawasan tercapai dengan perbaikan-perbaikan yang optimal. Disini dituntut adanya kemampuan berkomunikasi yang baik dari Pengawas, dan mindset yang tepat dalam memahami pengawasan sehingga tidak terkesan menyalahkan dan mencari-cari kesalahan dalam pelaksanaan pengawasan;

4. Tidak melakukan pemeriksaan komprehensip terhadap hakim atau aparatur pengadilan yang melakukan pelanggaran atau kesalahan, melainkan langsung menjatuhkan sanksi.

Solusi :

Pimpinan melakukan pemeriksaan secara komprehensip terhadap hakim atau aparatur pengadilan yang melakukan pelanggaran atau kesalahan dengan mempertimbangkan penilaian atasan langsung dan rekomendasi dari tim pemeriksaan.

 

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

Pengawasan adalah instrumen yang dimaksudkan untuk mengendalikan dan mengevaluasi proses bisnis di pengadilan agar dilaksanakan sesuai koridor yang ada. Dalam pelaksanaannya, dibutuhkan kesamaaan pemahaman untuk membangun mindset antara pengawas dan yang diawasi. Pemahaman bersama yang utuh terhadap filosofi pengawasan akan membentuk persepsi yang positif terhadap pengawasan dan membangun dinamika yang positif dalam pelaksanaan pengawasan.

Kesepahaman tentang urgensi pengawasan di antara pengawas dan yang diawasi akan menghilangkan persepsi pengawasan yang selama ini dianggap sebagai momok, Pengawas tidak lagi dianggap sebagai pencari kesalahan, namun sebagai partner dalam hal pencapaian tujuan organisasi. Di samping itu, juga akan membangun persepsi bahwa pihak yang diawasi bukanlah sebagai objek, melainkan sebagai subjek pengawasan yang memiliki kedudukan setara dan bersifat consulting. Dengan demikian, yang terjadi dalam pengawasan adalah ada dialektika dan terjadi dinamika yang positif antara pengawas dan yang diawasi untuk secara bersama-sama mencapai tujuan organisasi.

B. Saran

Pengawasan harus dijadikan wadah untuk duduk bersama untuk mengevaluasi kembali pekerjaan-pekerjaan yang sudah dilakukan. Pengawasan harus berupaya memperbaiki kesalahan yang mungkin timbul di dalamnya dan upaya mencari solusi terbaik menghadapi kemungkinan hambatan yang akan terjadi. Yang diharapkan kemudian adalah pengawasan menjadi media yang efektif untuk perbaikan kinerja, bukan untuk menimbulkan ketakutan dan kekhawatiran melakukan kesalahan pada aparat yang diawasi, sehingga tidak berani mengambil kebijakan yang bertujuan untuk kebaikan organisasi dan/atau untuk berinovasi.

 

DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman;

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009;

Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009;

Perma Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Pengawasan dan Pembinaan Atasan Langsung Di Lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di Bawahnya;

Keputusan Mahkamah Agung RI Nomor KMA/080/SK/VIII/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan di Lingkungan Lembaga Peradilan;

SK Kepala Badan Pengawasan Mahkamah Agung RI Nomor 64/BP/SK/XII/2021 tentangPenggunaan Aplikasi Watitama.

Silalahi, G. Amin, Strategi Manajemen, Citra Media, Jakarta, 2003.

Buku IV tentang Tata Laksana Pengawasan Peradilan.

 

 


[1] Ketua MS Kualasimpang dan Pengajar pada Pusdiklat Menpim MA-RI

[2] Buku IV tentang Tata Laksana Pengawasan Peradilan

[3] Silalahi, G. Amin, Strategi Manajemen, Citra Media, Jakarta, 2003, hal. 181.

[4] Buku IV tentang Tata Laksana Pengawasan Peradilan